نويت توكلت علي الله

نويت توكلت علي الله
ngawiti ingsun kelawan nyebut asmane ALLAH

Selasa, 08 Mei 2012

Memilih Sendiri atau mengikuti tuntunan ALLAH

Pilihan Sendiri atau
Murabbi
Bismillahirrahmanirrahim…
Ada banyak cerita yang aku dapatkan
tentang proses ta’aruf selama ini. Dari
sekian banyak cerita, ternyata ada yang
sungguh dramatis dan tragis. Seperti
apakah ceritanya?
Seperti judul di atas, cerita ta’aruf yang
akan diangkat di sini tentang pilihan sendiri
atau pilihan murabbi. Ada yang pernah
bilang: “Salah ga sih kalo ada ikhwan yang
sudah punya pilihan sendiri kemudian
mengajukan sebuah nama kepada
murabbinya?”
Tentu hal ini tak salah dan tak melanggar
syar’i. Ketika memang sudah ada
kecenderungan dengan seorang akhwat dan
memang sudah siap nikah, maka
keberanian mengajukan sebuah nama
kepada seorang murabbi bukanlah hal yang
tak syar’i. Banyak yang bilang bahwa ketika
sudah menunjuk sebuah nama, apalagi
misalnya satu organisasi, sering
berinteraksi selama ini, khawatir bahwa
sudah terkotori dengan hal-hal yang tak
suci. Itu semua hanya kekhawatiran yang
seharusnya diikhtiarkan dengan menjaga
prosesnya.
Apakah proses ta’aruf itu hanya dengan
orang yang belum dikenal sama sekali?
Ingatkah kita kisah Fatimah dan Ali? Mereka
berdua adalah sepupu, sudah saling kenal.
Ali mencintai Fatimah karena akhlaq
Fatimah yang begitu mulia ketika ia lihat
dalam kesehariannya. Begitu pun Fatimah
yang ternyata telah mencintai Ali sebelum
menikah dengan Ali. Ingatkah pula kita
kisah Salman Al Farisi yang berkehendak
meminang seorang wanita dengan bantuan
Abu Darda? Bukankah Salman memang
telah ada kecenderungan terlebih dahulu
pada wanita itu hingga akhirnya meminta
Abu Darda meminangkan wanita itu untuk
Salman? Namun memang pada akhirnya,
Salman tak berjodoh dengan wanita itu
karena wanita itu menginginkan Abu Darda
sebagai suaminya.
Jadi, memang tak salah jika seorang ikhwan
sudah memiliki kecenderungan terlebih
dulu terhadap seorang akhwat dan berani
mengajukan nama kepada murabbinya. Nah
kadang yang jadi masalah itu adalah
bagaimana mengkomunikasikan hal ini
kepada murabbi.
Yuk, simak dua kisah berikut ini.
Ada seorang ikhwan yang sudah memiliki
kecenderungan dengan seorang akhwat satu
organisasi. Ia pun siap menikah. Namun,
dalam prosesnya, ia tak meminta sang
murabbi sebagai fasilitatornya, melainkan
meminta sang kawan yang menjadi
fasilitatornya. Hal ini ia lakukan karena
sang murabbi sudah punya proyeksi
akhwat untuk ikhwan ini, yang tak lain tak
bukan adalah adik sang murabbi sendiri,
ada rasa tak enak mungkin. Sebenarnya tak
masalah jika murabbi bukan sebagai
fasilitator proses ta’aruf, asal
dikomunikasikan dari awal. Entah mungkin
merasa tak enak dengan sang murabbi,
akhirnya ikhwan itu berproses dengan
akhwat tersebut lewat jalur ‘swasta’, yang
ternyata akhwat ini pun punya
kecenderungan yang sama, yang lagi-lagi
juga sama, tak mengkomunikasikan dengan
murabbinya. Hingga akhirnya menjelang
menikah, barulah mereka berdua bilang ke
murabbinya.
Lantas bagaimana tanggapan sang murabbi?
Murabbi sang ikhwan bilang: “Antum cari
aja murabbi lain…”.Jleb. Dalem euy, hingga
akhirnya sang ikhwan ‘kabur’ dari lingkaran.
Begitu pun dengan sang akhwat, ternyata
keluar juga dari lingkarannya. Dan mereka
menikah. Namun amat disayangkan karena
ternyata pernikahan mereka tak sesuai yang
diharapkan. Ikhwan yang di mata sang
akhwat begitu dewasa ketika dalam
organisasi, ternyata begitu kekanakan
dalam rumah tangga. Dan sang akhwat
ingin segera bercerai walaupun sudah
dikaruniai seorang anak. Huuffh… apakah
ini sebuah pernikahan yang tak diridhoi
murabbi?
Kisah kedua lain lagi ceritanya. Jika cerita
pertama terkesan tak menghargai
murabbinya, maka cerita kedua
kebalikannya. Ada seorang ikhwan yang
sudah siap menikah dan sudah punya
kecenderungan dengan akhwat yang sudah
dikenalnya. Namun kemudian sang
murabbi menawarkan akhwat lain untuk
berproses dengannya. Karena sang ikhwan
begitu tsiqah dengan murabbinya terkait
masalah jodohnya ini, maka ia pun
menerima tawaran sang murabbi untuk
berta’aruf dengan akhwat pilihan murabbi
yang belum ia kenal sebelumnya.
Proses pun lancar hingga akhirnya
diputuskan tanggal pernikahan. Namun apa
yang dilakukan sang ikhwan sepekan
menjelang pernikahannya? Ia mengirim
email kepada akhwat yang dicenderunginya
itu, mengatakan bahwa ia siap
membatalkan pernikahannya jika sang
akhwat meminta untuk membatalkannya.
Lantas apa reaksi sang akhwat? Akhwat itu
hanya bilang: “jangan bodoh Antum,
seminggu lagi Antum udah mau nikah,
undangan udah disebar, apa ga malu nanti
keluarga besar Antum?”
Dan akhirnya ikhwan itu tetap menikah
dengan akhwat pilihan murabbinya.
Qadarullah, setelah beberapa minggu
menikah, sang istri rupanya melihat email
yang dikirim sang ikhwan ke seorang
akhwat yang dicenderungi sang ikhwan.
Kaget luar biasa tentunya dan akhirnya sang
istri menemui akhwat tersebut dan bilang:
“kenapa mba ga bilang kalo ikhwan itu
udah ada kecenderungan dengan mba dan
begitu pun dengan mba udah ada
kecenderungan dengan dia. Kalo saya tahu,
saya akan membatalkan pernikahan saya,
mba…”. Dan entahlah bagaimana kisah
selanjutnya.
Ya. Itu dua kisah yang amat dramatis dan
tragis tentang sebuah proses ta’aruf menuju
jenjang pernikahan. Yang satu punya
pilihan sendiri dan mengikuti pilihannya
sendiri tanpa mengkomunikasikannya
dengan sang murabbi sedangkan yang
satunya lagi memilih pilihan murabbi
walaupun sudah punya pilihan sendiri, dan
lagi-lagi tak mengkomunikasikan tentang
pilihan sendirinya ini kepada sang
murabbi.
Jika dilihat dua kasus di atas, apa
sebenarnya yang menjadi kunci dari
masalah ini? K-O-M-U-N-I-K-A-S-I. Ya,
komunikasi antara sang ikhwan dan
murabbi yang bermasalah. Padahal jika
saja hal-hal dalam penjemputan jodoh
dikomunikasikan dengan baik kepada sang
murabbi, maka tak akan terjadi kisah tragis
dan dramatis seperti di atas. Namun karena
kisah ini sudah terjadi, maka semoga
menjadi pelajaran bagi kita yang mungkin
sedang berikhtiar kearah sana.
Hilangkan rasa sungkan untuk
mengkomunikasikan kepada murabbi jika
memang sudah punya pilihan sendiri.
Begitu pun dengan seorang Murabbi,
alangkah lebih baik menanyakan terlebih
dulu kepada binaannya apakah sang binaan
sudah mempunyai pilihan atau belum,
karena mungkin ada yang sungkan untuk
mengatakannya pada Murabbi.
Bagaimanapun seorang murabbi adalah
orangtua kita, yang tau banyak tentang kita,
sudah selayaknya kita pun menghargainya,
setidaknya berdiskusi dengan murabbi
untuk setiap pilihan kita, tentunya
berdiskusi pula dengan orangtua kandung
kita. Intinya, sama-sama dikomunikasikan
kepada orangtua maupun murabbi. Entah
jika memang sudah punya pilihan sendiri
atau pilihan murabbi. Semoga kedua kisah
di atas tak menimpa kita. Aamiin.
Tulisan ini dibuat hanya untuk
mengingatkan kita tentang proses ta’aruf
yang menjadi gerbang awal sebuah
pernikahan, sudah selayaknya proses
ta’aruf itu terjaga dari segala bentuk
ketidaksucian niat, ikhtiar dan tawakal. Hati-
hati juga jika kemudian timbul bisikan-
bisikan setan akibat berlama-lama dalam
menyegerakan jika memang sudah siap
menikah dan sudah punya pilihan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar